Apa Ciri Ciri Utama Sebuah Negara Islam ??
Banyak orang takut akan pemerintahan agama karena dua hal: Pertama, terkadang kekuasaan agama ini menyulitkan pihak-pihak yang menyelisihinya dalam akidah, mencekik leher mereka dan menganggap mereka yang tidak seakidah (dalam bahasa modern) sebagai rakyat kelas dua!
Perilaku tersebut dinafikan seutuhnya dalam negara Islam. sebab Islam menjadikan warga yang berbeda dalam akidah berada dalam jaminan keamanannya, perjanjiannya dan kemuliannya! Mereka disediakan perlindungan materil dan moril di atas jalan yang tidak dikenal dan tidak akan dikenal negara lain.
Inilah rahasia bertahannya sekte-sekte agama yang berbeda di antara kaum muslim tanpa ada gangguan dan kesulitan, pada saat yang sama minoritas muslim telah punah atau tertindas di bawah kekuasaan akidah yang lain.
Hal Kedua yang ditakuti dari pemerintahan agama adalah: Bahwa khalifah atau kepala negara diberi keistimewaan spiritual dan perkara gaib yang rancu, seolah dia mewakili Tuhan di bumi, seolah ia memiliki semacam kesucian dan terjaga dari dosa!
Makna tersebut diingkari dan ditolak dalam negara Islam, karena seorang penguasa itu manusia juga, hanya saja dia memiliki beban yang paling berat dan tanggung-jawab paling besar, ia pun terkadang berbuat salah dan menunggu teguran dari yang lain, ia juga lemah jika memimpin sendiri, kecuali jika dikuatkan dengan orang-orang yang berilmu dan memiliki semangat.
Telah kita lihat dalam Khilafah Rasyidah bagaimana seorang khalifah melakukan pendekatan dengan banyak orang, meminta nasihat dan bantuan, bagaimana pula dia menjauhkan diri dari penampakan kebesaran yang kosong, dan ia melihat kesombongan itu sebagai bentuk kejahatan, sementara kerendahan hati merupakan karena ma ini ketakwaan.
Ciri Pertama negara Islam adalah: Syûrā (musyawarah) dan meminta kebenaran dari ahlinya, patuh terhadap kebenaran saat ia tampak, dan menyediakan iklim yang menyatakan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Syûrâ (musyawarah) adalah norma manusia yang bernilai tinggi dan terpuji dalam masyarakat masa lampau maupun modern, dan sudah dikenal dalam sistem pemerintahan sejak masa lalu, meskipun banyak yang berpaling darinya dan banyak penguasa otoriter yang menyalahinya.
Imam Hasan Ra, berkata: "Manusia itu terdiri dari tiga golongan: laki-laki yang jantan, laki-laki yang setengah jantan dan laki-laki yang tidak jantan! Lelaki jantan adalah yang mempunyai ide dan berkonsultasi, adapun lelaki yang setengah jantan adalah yang punya pendapat tetapi tidak berkonsultasi, sedangkan yang ketiga adalah lelaki yang tidak punya pendapat juga tidak berkonsultasi!"
Al-Baghawi meriwayatkan dari Aisyah Ra. yang berkata: "Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak meminta pendapat kepada para ahli dari Rasulullah Saw.!" Tentu saja Rasulullah bermusyawarah tentang urusan dunia dan maslahat publik yang tidak dibahas oleh wahyu.
Rasulullah Saw. bermusyawarah dengan kaum muslim dalam ia perang Badar, Uhud, Khandaq, lalu mengambil pendapat mereka.
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa Rasulullah Saw, berkata kepada Abu Bakar dan Umar Ra.: "Jika kalian berdua sepakat dalam sebuah musyarwarah (pendapat) niscaya aku tidak akan menyelisihi (pendapat) kalian berdua." Ibnu Bardawaih juga meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Ra bahwa Rasulullah Saw. ditanya soal "azam" yaitu dalam Firman Allah Swt.: "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (azam), maka bertawakallah kepada Allah." (QS. Ali Imran [3]: 159).
Lalu Rasulullah Saw. pun memberikan jawaban: "Meminta pendapat (musyawarah) para ahli yang berkompeten kemudian mengikuti pendapat mereka."
Anehnya, ada seorang ahli tafsir yang menjelaskan ayat tersebut dengan berkata: "Anda meminta pendapat, namun anda melaksanakan mana yang lebih sesuai dan lebih bijak, bukan atas dasar musyawarah." Atau dengan kata lain: Anda mengambil sikap berbeda dengan hasil musyawarah lalu mengikuti pendapat anda sendiri. Terbayangkan seolah tongkat penguasa otoriter berada di atas kepala penafsir yang gelisah ini, kemudian dia mengatakan -demikian- untuk menyenangkan sang penguasa!
Sesungguhnya Allah Menyifati umat Islam dengan kalimat ini:
"... Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. " (QS. Al-Syura [42]: 38).
Ini merupakan perkataan serius, bukan senda gurau! Lantas bagaimana bisa ada orang yang datang setelah itu dan berkata: "Penguasa berlalu dengan menerapkan pendapatnya tanpa menghiraukan hasil musyawarah." Lantas kenapa sebelumnya dia meminta pendapat?
Kemudian sepanjang zamannya, penerapan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan itu terwujud dalam beragam bentuk. Misalkan: "Ilmu adalah kewajiban" dan orang-orang yang mencari ilmu di berbagai masjid dan sekolah dengan anggapan itu merupakan sebuah Sunnah, adalah sebuah bentuk gambaran yang telah dikenal dalam sebuah masyarakat sederhana. Sementara hari ini, banyak generasi yang telah digembleng untuk menuntut ilmu, lalu dikoordinasikan jenjang pendidikan dan institut-institutnya, sehingga mustahil pendidikan dibiarkan begitu saja secara sukarela (dianggap sunnah) bagi setiap individu!
Demikian juga "Jihad adalah kewajiban," dahulu -jihad - cukup diumumkan melalui seruan patriotisme yang mengumpulkan anak-anak muda dan orang tua untuk pergi ke medan perang dan memasuki pertempuran, apakah hal itu sekarang masih dilakukan oleh bangsa-bangsa? Ataukah bangsa-bangsa tersebut telah menjadikan tentara dalam sebuah eksistensi permanen lalu menetapkan usia tertentu untuk bisa masuk ke dalam kemiliteran kemudian pendanaannya menelan banyak biaya untuk pelatihan, suplai dan persenjataan?
Demikian juga musyawarah, yang merupakan prinsip yang telah ditentukan serta kewajiban yang sudah menjadi ketetapan, maka dari itu harus disediakan piranti-pirantinya, dan dilengkapi dengan berbagai macam pengalaman, mengatur pengawasannya atas urusan negara, dan diselematkan dari cengkeraman otoriter individu, serta terjaminnya kemaslahatan rakyat! (...)
Siapa yang memberikan hak bagi penguasa untuk menentang pendapat jamaah atau suara mayoritas meskipun kedudukannya tinggi? Lalu saat ia mengangkat tangannya menyatakan penolakan, orang yang berbicara pun terdiam, dan keputusan pun memanas? Lantas apa nilai dari bunyi ayat di bawah ini dengan hak tersebut ?? ". Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka." (QS. Al-Syura [42]: 38).
Sesungguhnya perangkat musyawarah yang tertib, yang terhormat dan mengikat adalah yang menjaga batasan hukum-hukum Allah, yaitu yang mencekal tangan orang-orang zalim dan menjauhkan umat dari keburukan mereka, serta mengamalkan Sabda Rasulullah Saw. yang mulia: "Sesungguhnya manusia apabila melihat orang zalim namun tidak mencekal kedua tangannya (tidak mencegah kezalimannya) maka Allah akan Meratakan siksaan-Nya (Menimpakan siksaan kepada mereka semua)."
Hampir 100 tahun sejarah Islam diperintah oleh seorang khalifah yang berasal dari beberapa keluarga yang dapat terhitung dengan jari tangan! Sejarah mereka ini menunjukkan bahwa umat Islam sangat membutuhkan perangkat musyawarah yang amat jeli dan tegas dalam menuntut tanggung-jawab para pemegang otoritas.
Kemudian, di antara ciri-ciri negara Islam lainnya adalah perlindungannya yang ketat terhadap hak-hak manusia yang bersifat materil dan moril, menyediakan keamanan bagi setiap individu dan masyarakat, mengancam jika ada yang melukai atau meneror seseorang! Lalu menjadikan nyawa, harta dan kehormatan sebagaimana kehormatan Baitul Haram, kota Makkah dan Bulan-bulan Haram, atau lebih dari itu! Serta memberlakukan keadilan kepada pendukung maupun oposisi, kepada kerabat maupun orang asing, kepada yang kaya maupun yang miskin, dan mengancam masyarakat dengan kehancuran jika hanya mengikuti hawa nafsu sehingga kerusakan ini berlanjut:
"Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Hud [11]: 117).
Dan ketika kekuasaan itu memiliki "bahaya" sebagaimana bahayanya arak, maka Rasulullah Saw, memperingatkan para penguasa agar tidak condong kepada hawa nafsu. Beliau bersabda: Dua kelompok dari umatku tidak akan memerima syafaatku : peminpin tirani lagi dhalim dan setiap orang ghulul dan keluar dari kebenaran.
Ghulul adalah korupsi harta publik.
Anehnya, tidak ada perbedaan antara kebobrokan politik dan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, sedikit sekali anda menemukan seorang diktator kecuali dia juga seorang pencuri yang mencuri harta milik umat, menggunakannya tanpa hak untuk dirinya, kerabatnya dan pengikut-pengikutnya!
Dari sini kita memahami apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas Ra, bahwa Rasulullah Saw. mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman - sebagai Gubernur Yaman- dan beliau berpesan kepadanya: "Hindarilah doa orang yang terzalimi karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah."
Sama saja yang terzalimi tersebut adalah orang muslim ataupun non-muslim, hal itu sebagaimana telah dijelaskan dalam riwayat lain.
Dan keberpihakan penguasa kepada salah satu di antara dua hal adalah bentuk godaan! Sebagaimana banyaknya lalat yang mengerubungi kue manis, orang-orang yang tamak mendekati para pemilik kekuasaan, ini tidak perlu dalil! Rasulullah Saw. telah mewaspadai akan akibat daripada cara-cara tersebut, beliau bersabda: "Akan ada para pemimpin, lalu kalian mengetahui (kemakrufannya) dan mengingkari (kemungkaran-nya). Barang siapa yang mengetahui (kemakrufan-nya), dia bebas. Dan barang siapa yang mengingkari (kemungkarannya), dia selamat. Akan tetapi, orang yang ridha dan mengikuti (celaka)."
Rasulullah Saw. tidak menyebutkan imbalannya; karena sudah maklum dan diketahui. Kemudian Rasulullah menyebut ganjaran yang akan diterima oleh para pendukung kebatilan dan pengikut para perusak, beliau bersabda: "Kelak akan ada para pemimpin yang dikelilingi oleh para pendamping atau orang-orang dekat, mereka (para pemimpin itu) berbohong dan berbuat zalim, maka barang siapa yang bergabung kepada mereka, mempercayai kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka dia bukanlah dari golonganku dan aku bukan dari golongannya! Dan barang siapa yang tidak bergabung dengan mereka, tidak mempercayai kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya."
Dalam riwayatdisebutkan :
"Barang siapa yang membenarkan kebohongan mereka kemudian membantu mereka dalam kezaliman mereka, maka aku berlepas- tangan dari perbuatannya dan dia terbebas dariku."
Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain tentang tema sensitif ini dalam kehidupan dan sejarah kita.
Barangkali itulah rahasia di balik pertikaian yang terus menerus antara para imam Fikih Islam dan para penguasa yang menamai diri sebagai khalifah, padahal mereka adalah para raja dari seburuk-buruk raja!
Seluruh umat mengetahui nilai kredibilitas seorang Fakih dari kadar kedekatan atau jauhnya mereka dari pintu kekuasaan, yang mana hal tersebut karena perasaan mendalam mereka bahwa para penguasa tersebut adalah para perompak dan bukan para Khulafa Rasyidin!
Sementara kepala negara -atau khalifah saleh- yang menepati janji terhadap umat dan pesan risalahnya, maka mencintainya adalah bentuk ibadah, dan memuliakannya adalah bagian dari agama dan mendukungnya adalah wajib bagi seluruh kaum mukmin! Bukankah ia telah begadang malam demi maslahat mereka? Bukankah ia telah bangkit memikul beban-beban mereka? Bukankah ia pembawa panji dan pemimpin jihad?
Telah disampaikan dalam beberapa riwayat Hadits bahwa pemimpin yang adil adalah golongan pertama dari tujuh golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya! Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan Umar bin Khatthab bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Sebaik-baik kedudukan manusia di sisi Allah pada Hari Kiamat adalah pemimpin adil yang lembut, dan seburuk-burukmya kedudukan seorang hamba Allah pada Hari Kiamat adalah pemimpin zalim yang bodoh."
alias, dungu!
Sumber : oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali (Ulama dan pemikir islam dari Mesir.
0 Response to "Apa Ciri Ciri Utama Sebuah Negara Islam ??"
Post a Comment